Tiga Desa di Jambi Tolak Ekspansi Perkebunan HTI
Masyarakat desa Olak Besar, Hajran dan Jelutih Kecamatan Bathin XXIV mendatangi Kantor BLHD dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Senin 19 November 2013 silam. Kedatangan warga desa ini terkait dengan rencana kehadiran PT Rimba Tamanan Industri (RTI), yaitu sebuah perusahaan hutan tanaman yang akan melakukan ekspansi perkebunan di ketiga desa tersebut.
Kegelisahan warga ini, mengingat areal yang akan dijadikan HTI merupakan kebun karet tua milik masyarakat. “Kami kaget, kok tiba-tiba sudah ada rencana HTI yang lokasinya di kebun karet kami,”ujar kepala Desa Jelutih Suhabli.
Menurutnya, selama ini kawasan lahan seluas seluas 8.156 ha yang dimohonkan perusahaan tersebut, sudah sejak lama dikelola warga desa. Pohon-pohon karet di kawasan tersebut sudah tergolong tua dan bahkan akan segera di lakukan penanaman ulang (replanting). “Kami harap pemerintah segera membatalkan rencana ini,”sebutnya.
Masyarakat berharap perusahaan yang memasuki proses AMDAL tersebut, tidak ditindaklanjuti dan ditolak AMDAL-nya karena kawasan tersebut memang tidak layak untuk jadi kawasan HTI. “Dimana lagi kami akan berusaha, dibagian atasnya sudah HTI Wana Perintis, masak semua kawasan tersebut juga mau dijadikan HTI,”sebut Suhabli.
Sesaat setelah mendengar informasi ekspasi perkebunan HTI ini, masyarakat ketiga desa ini sudah mengajukan penolakan mereka kepada menteri kehutanan, sejak September 2012 lalu. Namun hingga kini, masalah ini belum mendapat respon dari pihak kementrian kehutanan. Sebaliknya, kementerian kehutanan justru menerbitkan SP 1, yang artinya perusahaan boleh melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu proses AMDAL. “Makanya kami mengajukan penolakannya ke BLHD, selaku lembaga yang akan memproses AMDAL perusahaan ini,”sebutnya.
Asisten Koordinator program KKI WARSI, Ade Chandra, menyebutkan kehadiran HTI baru hanya akan memperpanjang konflik lahan di Kabupaten Batanghari. Ketiga desa ini sejak 2007 telah berkonflik dengan HTI Wana Perintis yang lokasinya lebih diatas dari HTI yang akan lahir. Hingga kini konflik dengan Wana Perintis belum selesai. “Kehadiran HTI baru ini sangat potensial menghadirkan konflik baru,”sebut Ade.
Masyarakat menyampaikan penolakan mereka pada rencana PT Rimba Tanaman Industri. Foto: KKI Warsi
Ade menilai, pemerintah ceroboh kalau sampai meloloskan permohonan PT RTI. Jambi sudah sangat rawan dengan konflik lahan. Data KKI Warsi mencatat sepanjang 2012 terjadi 35 kasus konflik lahan dengan luas lebih dari 135.686,6 ha melibatkan masyarakat dari berbagai kabupaten dengan perusahaan yang berada disekitarnya. Konflik ini sebagian besar merupakan konflik lanjutan tahun-tahun sebelumnya.
Koflik yang timbul ini merupakan wujud kurang dilibatkannya masyarakat dalam mengelola sumber daya alam. Catatan WARSI hingga kini di Jambi sudah ada 19 HTI definitif dengan luas areal kelola 696.489 ha. Jika di total dengan pencadangan dan direkomendasikan Gubernur maka untuk HTI mencapai 776.652. Kondisi ini berbanding terbalik dengan dengan kawasan kelola masyarakat yang hanya 64.384 melalui sekam hutan adat dan hutan desa.
Tidak hanya itu, menurut Ade bertambahnya HTI di Jambi juga akan menyebabkan kualitas lingkungan di Jambi akan semakin turun, sehingga potensi bencana alam juga semakin meningkat. Untuk diketahui, HTI pola pembukaan lahannya melakukan land clearing yang artinya akan menebang habis semua tanaman dipermukaan tanah untuk kemudian diganti dengan tanaman baru yang diinginkan perusahaan. Proses Land Clearing ini akan menyebabkan tanah tidak akan menyerap air hujan, tapi menjadikannya aliran permukaan, sehingga meningkatkan potensi banjir. “Untuk itu kami berharap pemerintah berhati-hati dan selektif dalam mengeluarkan izin jangan sampai persoalan pengelolaan sumber daya alam di Jambi semakin rumit dan berkepanjangan, hanya karena ingin mengakomodir segelintir pengusaha,”sebutnya.
Lokasi rencana perkebunan HTI yang ditolak masyarakat. Sumber: KKI Warsi
Sumber: Mongabay
Related Project:
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Pada tahun 2012 LifeMosaic memproduksi film "Dibalik Kertas" untuk masyarakat adat dan lokal tentang perluasan HTI. "Dibalik Kertas" menghadirkan analisa tentang dampak perusahaan kertas dan bubur kertas pada masyarakat, membantu penonton untuk menganalisa apakah menerima pembangunan di wilayah mereka tersebut sesuai dengan kepentingan mereka atau menolak.
Kategori-kategori
Berita terbaru
- Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula Tuan Rumah Retreat Metodologi Pendidikan Adat Se-Nusantara
- Sianjur Mula-Mula, Rumah Belajar Anak Batak Toba Mengenal Indonesia
- LifeMosaic Meluncurkan Perangkat tentang Pendidikan Adat
- Lowongan Pekerjaan di LifeMosaic
- Lowongan Pekerja Program LifeMosaic di Indonesia