Sekolah Adat Samabue, Kuatkan Keterikatan Generasi Muda dengan Alam Mereka
Namanya Bukit Samabue. Ia terletak di Desa Sepahat, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Bukit itu merupakan wilayah yang disakralkan masyarakat adat sekitar. Ia juga sumber mata air warga, tempat minum, mencuci, hingga mengaliri ladang dan perkebunan warga. Pepohonan bukit terjaga baik karena masyarakat sekitar teguh memegang nilai-nilai adat, bahwa bukit harus terjaga.
Belakangan, pada 2010, muncul kabar bukit akan diekploitasi tambang bauksit oleh dua perusahaan, PT Galian Bumi Khatulistiwa (GBK) dan PT Bangun Tumbuh Banua (BTB). Kontan masyarakat sekitar menolak.
Penolakan didasari atas kekhawatiran, jika tambang beroperasi mengancam sumber penghidupan mereka. Luas Bukit Samabue 1.214 hektar dan konsesi kedua perusahaan tambang 874 hektar.
Kekhawatiran juga dirasakan sekelompok anak muda di situ. Gerakan melawan dengan cara berbeda mereka lakukan, yakni lewat pendidikan. Lima pemudi yakni Modesta Wisa, Dwiana Sari, Reni Raja Gukguk, Yosita, dan Katarina Ria sepakat membentuk Sekolah Adat Samabue pada 24 Februari 2016. Nama Bukit Samabue mereka dedikasikan sebagai bentuk perlawanan menyelamatkan alam sekitar.
Bukit Samabue, katanya, hutan adat yang sakral, tetapi status dari pemerintah sebagai hutan produksi tanpa memberitahukan kepada masyarakat sekitar.
“Pertambangan di Bukit Samabue memang belum beroperasi. Tapi izin hingga kini belum dicabut. Kemarin, sempat ada pertentangan tetua-tetua adat, gagal masuk,” kata Modesta Wisa, pendiri Sekolah Adat Samabue, baru-baru ini.
Wisa, begitu biasa disapa mengatakan, pendirian Sekolah Adat Samabue sejalan dengan gerakan pulang kampung yang digagas Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), sayap organisasi Aliansi masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dia sendiri aktif sebagai Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Kalimantan.
“Melalui gerakan pulang kampung, kami membangun sekolah adat ini,” katanya.
Sebelumnya, mereka bikin pelatihan muda-mudi adat untuk fasilitator di Desa Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalbar. Kala itu, peserta 30 pemuda-pemudi adat dari seluruh nusantara. “Pelatihan dilakukan selama satu bulan.”
Selepas pelatihan, Wisa dan beberapa teman sepakat membangun Sekolah Adat Samabue. Menurut dia, konsep sekolah adat ini sangat sederhana. Ia tak dibatasi bangunan fisik. Belajar justru di alam terbuka. Dengan sekolah ini ingin menguatkan keterikatan generasi muda adat dengan wilayah dan hutan mereka.
Waktu belajar juga menyesuaikan peserta didik, memanfaatkan jam pulang sekolah, biasa sore hari. Dalam seminggu, belajar tiga kali. “Kami mengajak anak-anak ke ladang, mengamati para orangtua cara menanam padi. Juga belajar sejarah kampung, tarian, cerita, kerajinan, makanan dan permainan tradisional,” katanya.
Pembagian kelas disesuaikan kesepakatan tim inti dan tenaga pengajar. Kurikulum juga menyesuaikan kebutuhan komunitas. Lewat sekolah adat, Wisa berharap ada transfer pengetahuan dari para tetua adat kepada para generasi muda.
“Kami belajar di alam, itu bentuk kami ikut menjaga dan melestarikan alam. Sekolah adat hadir di tengah masyarakat juga salah satu bentuk kekhawatiran kita melihat sistem pendidikan yang mencerabut anak-anak adat meninggalkan kampung halaman. Pemuda adat meninggalkan kampung, bertemu banyak orang, lalu malu gunana bahasa mereka.”
Peserta didik sekolah ini berusia lim sampai 15 tahun. Ia ada di empat komunitas, yakni komunitas adat Binua Manyalitn, Binua Lumut Tangah, Binua Kaca dan Kaca Tengah.
Selama satu tahun berjalan, murid sekolah adat sudah 120 orang.
Wisa berharap, dengan sekolah ini, kebanggaan generasi muda adat terus tumbuh hingga sekaligus bisa ikut menjaga wilayah adat dari berbagai perusakan.
Wisa merasakan sendiri dampak buruk investasi besar yang merusak hutan dan wilayah adat mereka.
Wisa menyadari, orang tak bisa menutup diri dari teknologi dan modernisasi. Lewat sekolah adat dia ingin menyadarkan generasi muda, saat mereka mempunyai pemahaman untuk menjaga wilayah adat, perjuangan mereka bisa dibantu dengan kemajuan teknologi. “Misal dalam kampanye perjuangan masyarakat adat, kita bisa pakai media sosial.”
Masyarakat adat juga tak anti pembangunan tetapi harus melibatkan mereka sejak awal hingga tak ada yang dikorbankan.
Soal pendanaan sekolah, kata Wisa, bukan masalah serius. Sejauh ini, mereka pakai dana swadaya.
“Murid tak dipungut biaya. Selama satu tahun ini, kami swadaya. Pengurus inti lima orang ini ada yang bisa menyanyi, menari dan lain-lain. Kreativitas itulah yang kami gunakan untuk menggalang dana. Tak jarang kami ngamen dan penggalangan donasi,” katanya.
Untuk dana operasional setahun, katanya, juga tak banyak, hanya Rp800.000-an. Kondisi ini membuktikan, selama ada niat kuat, dana bukan alasan tk bergerak melakukan hal bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Baca artikel selengkapnya di sini.
Related Project:
Kepemimpinan & Pendidikan Populer
Di Indonesia kami bekerja mengembangkan program-program pelatihan jangka panjang bagi para pemimpin muda adat. Kami juga memfasilitasi pendekatan-pendekatan bersama mengenai kepemimpinan dan perencanaan masyarakat mandiri berjangka panjang antar masyarakat adat di negara-negara Selatan.
Kategori-kategori
Berita terbaru
- Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula Tuan Rumah Retreat Metodologi Pendidikan Adat Se-Nusantara
- Sianjur Mula-Mula, Rumah Belajar Anak Batak Toba Mengenal Indonesia
- LifeMosaic Meluncurkan Perangkat tentang Pendidikan Adat
- Lowongan Pekerjaan di LifeMosaic
- Lowongan Pekerja Program LifeMosaic di Indonesia