Tolak Sawit, Petani Banggai Ditangkapi
Ekspansi perkebunan sawit di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng), terus meluas. Masyarakat di sana khawatir dampak lingkungan dan sosial. Tak pelak, hampir seluruh warga desa di Banggai, ramai-ramai menolak kehadiran perkebunan sawit.
Namun, penolakan petani dijawab intimidasi dari perusahaan, dan berujung penangkapan petani oleh kepolisian. Seperti menimpa dua petani di Desa Honbola, Kecamatan Batui, Yoktan Kinding dan Ham Kinding, kini ditahan Polres Banggai, setelah pemanggilan sebagai tersangka.
Penahanan kepada dua petani ini berdasarkan laporan karyawan PT Delta Subur Permai (DSP), anak usaha PT Kencana Agri. Dua warga ini dutuduh tindak pidana perusakan aset perusahaan.
Kejadian bermula, 16 November 2013, ketika masyarakat memblokir jalan dan mendatangi perusahaan. Sesampainya di kantor, petugas keamanan marah dan menakut-nakuti warga dengan parang. Aksi petugas keamanan memicu kemarahan massa Desa Honbola. Mereka langsung mengamuk mengakibatkan kaca alat berat eskapator pecah dan beberapa bagian kantor rusak.
Buntutnya 26 November 2013, Polres Banggai memanggil empat warga masing-masing; Salmon, Kiki, Nandito, dan Keng, sebagai tersangka dengan tuduhan sama. Dua hari setelah itu, 28 November 2013, Polres Banggai melayangkan surat panggilan kepada satu warga Desa Honbola sebagai tersangka.
Berdasarkan laporan Walhi Sulteng, konflik antara petani Honbola dan PT DSP memanas sejak Juli 2011. Konflik makin runcing ketika perusahaan mengabaikan kesepakatan warga yang diambil Mei 2013, terkait pembangunan kebun plasma.
Dalam pertemuan ini disepakati, DSP menyediakan lahan seluas 300 hektar bagi masyarakat untuk kebun plasma. Namun. hingga kini masyarakat tidak mengetahui di mana areal plasma yang dijanjikan.
“Bahkan beberapa lokasi yang menurut masyarakat bukanlah bagian HGU, fakta saat ini ditanami sawit dan akan dijadikan lahan inti milik perusahaan,” kata Ahmad Pelor, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, kepada Mongabay, Jumat (16/11/13).
Selain di Desa Honbola, keadaan memanas juga terjadi di Desa Toili, Kecamatan Toili. Dari sana dilaporkan pada 28 November 2013, , satu truck mobil Brimob memasuki areal yang diklaim HGU PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Kondisi ini membuat warga terteror.
Azis, warga setempat yang tergabung dalam Serikat Petani Toili, mengatakan, pendudukan polisi bersenjata di areal bersengketa terkesan ingin menakut-nakuti warga yang berhadapan dengan perusahaan KLS.
Menurut dia, warga yang dipanggil polisi itu terjadi awal November 2013. Ketika itu, petani di Desa Toili sempat bersitegang dengan mandor perusahaan. Oleh perusahaan, warga dianggap merusak kebun sawit di Tetelara. Padahal, kawasan itu persawahan yang digarap warga sejak 1983.
“Areal persawahan itu sekitar 800 hektar. Tahun 2004-2005, ada pengukuran tanah oleh pemda, BPN, dan perusahaan secara diam-diam. Setelah perusahaan sawit masuk, sawah kami menjadi berkurang sekitar 500 hektar karena dicaplok,” ucap Azis.
Pola perusahaan sawit yang biasa dia lihat di desanya, warga diajak bekerja dan menanam dengan paksa, bahkan sampai malam hari.
Sebelum itu, penangkapan petani terjadi di Desa Bohotokong pada 1 November 2013. Adalah Yamin Musa, 40 tahun, ditangkap polisi sedang menonton TV di rumah tetangga pada pukul 20.00. Penangkapan ini berdasarkan surat perintah penangkapan nomor; Sp-Kap-164/XI/2013/Reskrim, dengan tuduhan mencuri kakao.
“Penangkapan petani di Bohotokong atas laporan PT Saritama Abadi. Kasus penangkapan Yamin Musa sudah pernah dialami tahun 2000, ketika itu ditangkap bersama almarhum ayahnya, Ibrahim Musa,” kata Irwan Frans Kusuma, Koordinator Pusat Studi Advokasi Rakyat Banggai (Pusar).
Walhi Sulteng mencatat, beberapa fakta kriminalisasi terhadap petani aksi kritis antara lain, pemanggilan tiga warga Kecamatan Bualemo, yaitu Lukman Borahima, Rafli Dunggio, dan Hamsu Aminullah. Ketiganya ditetapkan tersangka oleh Polsek Bualemo dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap PT. Wiramas Permai.
Menurut Ahmad, tiga orang yang dipanggil ini bagian warga yang konsisten menolak perkebunan sawit di wilayah mereka. Warga menolak karena dipandang tak akan memberi manfaat ekonomi. Pada September 2012, Pabeangi, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Sukamaju dan satu warga lain dipenjara. Mereka didakwa tindak pidana perusakan aset milik PT Sawindo Cemerlang. Tuduhannya, mencabut sawit yang ditanam perusahaan.
Sebelumnya, beberapa warga mencabut sawit, karena PT Sawindo Cemerlang, menggusur dan menanami sawit di lahan-lahan produktif milik warga Desa Sukamaju. Hal ini dilakukan tanpa pembicaraan bahkan informasi sedikitpun.
“Kriminalisasi petani ini terus terjadi. Bahkan November 2013, total warga sebagai tersangka ada tujuh orang dan dua ditahan sejak 13 November 2013.”
Untuk itu, Walhi Sulteng mendesak pemerintah segera melakukan langkah moratorium perluasan sawit di Sulteng. Walhi juga meminta pemerintah provinsi dan kabupaten segera evaluasi segala bentuk izin berhubungan pengembangan perkebunan sawit di Sulteng.
Mereka mendesak kepolisian melihat konflik perkebunan sawit lebih jernih dan tidak terburu-buru menaha serta menangkap warga. “Walhi mendesak kepolisian membebaskan tujuh petani dari segala tuntutan.”
Sumber: Mongabay
Related Project:
Kelapa Sawit
LifeMosaic, bermitra dengan Friends of the Earth dan Sawit Watch, mengkoordinasikan proyek yang bertujuan untuk menyebarkan informasi penting terkait dampak kelapa sawit pada masyarakat di wilayah perluasan perkebunan agar mereka dapat membuat keputusan tepat atas lahan dan masa depan mereka.
Kategori-kategori
Berita terbaru
- Rumah Belajar Sianjur Mula-Mula Tuan Rumah Retreat Metodologi Pendidikan Adat Se-Nusantara
- Sianjur Mula-Mula, Rumah Belajar Anak Batak Toba Mengenal Indonesia
- LifeMosaic Meluncurkan Perangkat tentang Pendidikan Adat
- Lowongan Pekerjaan di LifeMosaic
- Lowongan Pekerja Program LifeMosaic di Indonesia